Peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi Superjet 100 dituding
karena human eror. Dalam kasus tersebut, menurut Pemerhati Masalah Penerbangan,
Samudra Sukardi, disebabkan pilot yang terlalu percaya diri.
Samudra, menyampaikan penilaiannya, menganggap pilot senio Rusia, Alexander Yablonstsev tidak terlalu paham akan medan terbang. "Bisa saja pilot kelewat percaya diri," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (12/5).
Kendati demikian, dalam penyebab terjadinya kecelakan pesawat terbang, Samudra mengungkapkan bahwa biasa terjadi karena tiga hal. Pertama, kecelakaan terjadi karena faktor pesawat itu sendiri. Faktor ini, ujarnya, erat kaitannya dengan teknologi pesawat
Pada faktor kedua, yakni yang berhubungan dengan kemampuan serta kualifikasi sang pengendara pesawat, yakni human eror. Penyebab terakhir, berkaitan dengan infrastruktur.
Faktor tersebut, jelas dia, sangat berkaitan dengan ketersediaan failitas di bandara. Seperti kemampuan radar, penggunaan teknologi dari Air Traffic Control (ATC), sampai adanya software penunjang untuk mendata daerah pelintasan. "Cuaca juga berpengaruh," paparnya.
Pada faktor pertama, Samudra menjelaskan, pesawat buatan Rusia tersebut telah memiliki teknologi yang memadai. Seperti memiliki ground proximity warning system dan banyak hal lainnya. Pada faktor infrastruktur, kata Samudra, bandara Halim Perdana Kusuma sejatinya telah memiliki ketersediaan yang memadai untuk mendukung jalannya penerbangan.
Sementara Alexander Yablonstsev, lanjut dia, diketahui baru pertama kali mengudara di Indonesia. "Bisa jadi ketika cuaca sedang buruk dan pilot mencoba menghindar, tapi kurang mengetahui medan. Atau bisa juga karena pilot terlalu percaya diri dengan melakukan manuver," ujarnya.
Pada alasan tersebut, Samudra coba menjabarkan perihal keinginan pilot yang ingin menurunkan posisi ketinggian dari 10.000 menjadi 6.000 kaki. Padahal seperti diketahui, ketinggian Gunung Salak adalah 7.000 kaki.
Pada alasan kedua, dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. "Tapi kalau di daerah tersebut ada gunung dengan ketinggian 7.000 kaki, maka seharusnya pesawat turun dengan ketinggian 8.000," ujarnya.
Kendati demikian, Samudra tetap meminta pemerintah untuk segera melakukan perbaikan untuk mengejar ketinggalan. Dalam hal tersebut seperti teknologi bandara, ketersiadaan pelayanan dan keamanan, juga pengetatan fungsi pengawasan dan kontrol melalui lembaga terkait seperti ATC.
Samudra, menyampaikan penilaiannya, menganggap pilot senio Rusia, Alexander Yablonstsev tidak terlalu paham akan medan terbang. "Bisa saja pilot kelewat percaya diri," ujarnya dalam acara diskusi di Jakarta, Sabtu (12/5).
Kendati demikian, dalam penyebab terjadinya kecelakan pesawat terbang, Samudra mengungkapkan bahwa biasa terjadi karena tiga hal. Pertama, kecelakaan terjadi karena faktor pesawat itu sendiri. Faktor ini, ujarnya, erat kaitannya dengan teknologi pesawat
Pada faktor kedua, yakni yang berhubungan dengan kemampuan serta kualifikasi sang pengendara pesawat, yakni human eror. Penyebab terakhir, berkaitan dengan infrastruktur.
Faktor tersebut, jelas dia, sangat berkaitan dengan ketersediaan failitas di bandara. Seperti kemampuan radar, penggunaan teknologi dari Air Traffic Control (ATC), sampai adanya software penunjang untuk mendata daerah pelintasan. "Cuaca juga berpengaruh," paparnya.
Pada faktor pertama, Samudra menjelaskan, pesawat buatan Rusia tersebut telah memiliki teknologi yang memadai. Seperti memiliki ground proximity warning system dan banyak hal lainnya. Pada faktor infrastruktur, kata Samudra, bandara Halim Perdana Kusuma sejatinya telah memiliki ketersediaan yang memadai untuk mendukung jalannya penerbangan.
Sementara Alexander Yablonstsev, lanjut dia, diketahui baru pertama kali mengudara di Indonesia. "Bisa jadi ketika cuaca sedang buruk dan pilot mencoba menghindar, tapi kurang mengetahui medan. Atau bisa juga karena pilot terlalu percaya diri dengan melakukan manuver," ujarnya.
Pada alasan tersebut, Samudra coba menjabarkan perihal keinginan pilot yang ingin menurunkan posisi ketinggian dari 10.000 menjadi 6.000 kaki. Padahal seperti diketahui, ketinggian Gunung Salak adalah 7.000 kaki.
Pada alasan kedua, dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan. "Tapi kalau di daerah tersebut ada gunung dengan ketinggian 7.000 kaki, maka seharusnya pesawat turun dengan ketinggian 8.000," ujarnya.
Kendati demikian, Samudra tetap meminta pemerintah untuk segera melakukan perbaikan untuk mengejar ketinggalan. Dalam hal tersebut seperti teknologi bandara, ketersiadaan pelayanan dan keamanan, juga pengetatan fungsi pengawasan dan kontrol melalui lembaga terkait seperti ATC.
Sumber : REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA
0 komentar:
Posting Komentar
Mohon untuk tidak menggunakan komentar spam dan berkomentarlah yang sopan